Rokok berbahaya, dan karena itu
rokok (tembakau) harus diperangi. Itulah pesan kampanye yang terus-menerus
dilakukan para penggiat anti-tembakau di seluruh dunia termasuk Indonesia.
Mereka mencoba membangun konsep “baik” dan “buruk” secara sosial, melalui
berbagai argumen ,mulai dari yang seolah rasional hingga kampanye hitam yang
mirip dengan propaganda Nazi di zaman Hitler. Para perokok lalu ditempatkan
sedemikian rupa sebagai subyek yang nyaris tanpa nilai baik. Minimal mereka
dikesankan tengah berhadap-hadapan dengan kaum perempuan dan keluarga sebagai
entitas subyek-korban yang merupakan anti-tesis terbesar dari potensi bahaya
merokok.
Benarkah kampanye anti-tembakau
itu semata-mata ditujukan untuk kesehatan individu dan masyarakat? Ataukah
tidakkah sebetulnya, ada kepentingan lain di balik semua kampanye anti-tembakau
yang (harus diakui) ternyata diongkosi milyaran dolar oleh Bloomberg Initiative
itu? Tentu semua pertanyaan itu akan tampak seperti kampanye tandingan melawan
kampanye anti-tembakau. Para penggiat kampanye anti-tembakau pun, bisa pula
menganggap dan mengatakan kampanye tandingan terhadap mereka juga diongkosi
lembaga tertentu. Namun persoalan disini adalah modus dari kampanye
anti-tembakau yang sejauh ini terlanjur dibungkus sebagai gerakan yang
seolah-olah tanpa ambisi politik, bebas kepentingan dan semata demi kesehatan
masyarakat.Dan inilah yang dipersoalkan oleh Wanda Hamilton.
Dalam buku Nicotine War, Hamilton mengingatkan adanya sejumlah fakta menarik
dibalik seluruh agenda perang global terhadap tembakau. Salah satunya adalah
kepentingan industry farmasi yang berusaha hendak menikmati “kue” pasar nikotin
dunia yang sejauh ini hanya dinikmati industri rokok. Nikotin adalah zat yang
terkandung dalam daun tembakau yang selalu dipresepsikan sebagai zat yang
berbahaya, padahal sama dengan senyawa lain, nikotin (dalam takaran tertentu)
bisa berfungsi sebagai obat. Dan itulah yang dipersoalkan oleh Hamilton.
Hamilton juga mengungkapkan, ada hubungan kepentingan industry rokok dan
industri farmasi di balik balik kampanye anti-tembakau. Itu misalnya yang
dilakukan oleh perusahaan tembakau terbesar ketiga di dunia Japan Tobacco
dengan produsen produk kesehatan Johnson & Jhonson. Kedua perusahaan telah
terbukti menekan kesepakatan bisnis berupa (lisensi) hak atau senyawa baru dari
nikotin untuk menangani nyeri dan radang. Hamilton mengistilahkan agenda
tersembunyi seperti ni sebagai “perang dagang” antara kepentingan industry
rokok dan industry farmasi dalam memperebutkan potensi keuntungan besar dari
bisnis nikotin terbesar di dunia.
Dari paparanHamilton itu, maka
bisa diduga gerakan filantropis (di balik kampanye anti-tembakau) dan karakter
ekspansi kapitalisme global, sebetulnya tidak berdiri sendiri-sendiri melainkan
sedang bergerak ke muara yang sama: kepentingan pemodal dunia. Dugaan ini
menemukan pembenaran, karena ratifikasi konvensi pembatasan terhadap
pengendalian tembakau atau FCTC yang diprakarsai Organisasi Kesehatan Dunia
(WHO) terbukti juga dibiayai oleh Perusahaan Farmasi Multinasional.
Tokoh utama dibalik gerakan ini
adalah Michael Ruben Bloomberg. Dia adalah wali kota New York dan pemilik
jaringan bisnis Bloomberg, yang telah berperan secara individu dan melalui
lembaganya, sebagai donator dan supervise kampanye anti-tembakau di seluruh
dunia termasuk Indonesia. Dari jejak rekamannya, banyak irisan-irisan
kepentingan yang berhubungan secara rumit dan terkesan paradox antara
kepentingan pemodal terbesar di dunia dengan kampanye anti-tembakau disokong
oleh Bloomberg. Hal ini terutama disebabkan oleh atmosfer tradisi dan budaya
ekonomi kapitalis ala Amerika yang
secara piawai bisa meleburkan perilaku kompetitif atau konflik kepentingan di
antara para pelaku usaha yang berbeda.
Akan tetapi, pada akhirnya
terlihat banyak kepentingan di antara industri-industri berbeda yang
terasosiasi ke dalam suatu sindikasi atau bisnis tembakau dunia yang sekali
lagi., berujung pada akumulasi keuntungan modal sebesar-besarnya. Dan Bloomberg
tampaknya sadar betul, untuk tidak mengatakan telah “bersedia” menjadi
lokomotif “nilai-nilai” yang menarik gerbong kekusaan modal Amerika. Tembakau
sebagai bisnis besar kemudian dijadikan sebagai sebagai salah sayu objek
permainan “nilai-nilai” itu dalam sebuah rel panjang perang anti-tembakau.
Hal yang tak kalah penting untung dicermati adalah sejarah konsolidasi
industri kesehatan sebagai bagian dari system industri masyarakat kapitalisme
dunia –khusnya bidang kesehatan- yang muncul, tumbuh, dan berkembang membesar
di Amerika, sesuai Perang Dunia II. Dari titik ini, akan bisa ditelusuri pul
sejarah kemunculan seperti WHO, yang sebagaimana sejarah kemunculan lembaga
supra-nasional unholy trinity (IMF,
Bank Dunia, dan WTO) tidak bisa dilepaskan dari proyek konsolidasi dan ekspansi kepentingan negara-negara dunia
pertama. Dalam istilah Ivan Illich, sejarah terbentuknya WHO itu di sebut
sebagai “medikalisasi kehidupan.” Gejalanya tampak dengan kemunculan
“imperialisme diagnostik” industri kesehatan terhadap masyarakat modern. Illich
menyebutkan, gejala itu tidak bisa dilepaskan dari kelebihan produksi secara
umum dari masyarakat industri capitalism, meskipun ada kekhususan karakteristik
yang membedakan sektor industri kesehatan dengan sektor lainnya.
Dengan kalimat lain, Illich
sebetulnya bermaksud memperlihatkan dampak fatal dari ilusi kemajuan ilmu
kedokteran. Atas nama spesialisasi kerja dan profesionalisme, ilmu kesehatan
modern konon berbeda dengan pengobatan tradisional dengan alas an keabsahannya
pada metodologi ilmiah ilmu pengetahuan. Namun dalam perkembangan dan
sejarahnya, industri kesehatan ternyata telah bertransformasi menjadi sebuah
“rezim kesehatan” yangnmenguasai kehidupan masyarakat dunia. Metode ini sangat
terkait dengan kuasa filosofis dan metode positivistic dalam kemajuan ilmu
pengetetahuan dan teknologi modern secara umum.Tubuh manusia lalu ditempatkan
layaknya sebuah mesin (allopathic
medicine), sebuah cara berpikir keliru yang telah dikritik oleh Herbert
Marcuse sebagai gejala munculnya “one
dimensional man” dalam kehidupan masyarakat modern kapitalistis.
Sayangnya, para penggiat
anti-tembakau termasuk di Indonesia (seolah) tidak mau tau dengan soal ini.
Kelompok ini cenderung mendudukkan persoalan tembakau dalam kacamata partikularistis,
semata-mata sebagai problem atau isu kesehatan yang bersifat absolute, dan
menutup ruang perdebatan dan eksplorasi isu tembakau . Mereka juga menolak
untuk menganalisis problem atas isu tembakau sebagai bagian dari gejala perang
dagang global, yang sbetulnya telah berdampak pada pemiskinan dan
ketergantungan negara-negara berkembang seperti Indonesia kepada negara-negara
kaya modal.
Kretek adalah rokok khas
Indonesia. Terbuat dari tembakau yang dicampurkan dengan cengkih, ia telah
bekembang menjadi komoditas industri yang menggerakkan sendi-sendi sosial, budaya,
dan ekonomi rakyat Indonesia sejak lebih dari seabad yang silam. Keberadaanya
pun tidak serta-merta, melainkan terhubung dengan tembakau, yang berabad-abad
sebelumnya menjadi bagian dari kehidupan mayoritas bangsa ini, dan melahirkan
nilai-nilai tradisi yang mengakar kuat. Tembakau, oleh karena itu tidak bisa
dilepaskan dari sejarah dan kebudayaan Indonesia. Sebagai olahan tembakau,
kretek faktanya telah dikenal diseluruh dunia sebagai produk khas Indonesia.
Ada pun cengkih sebagai salah satu bahan ramuan kretek merupakan tanaman
endemis Nusantara, khususnya di wilayah Maluku yang sejak dulu dikenal sebagai
surganya rempah-rempah. Dari berbagai tradisi tembakau di seluruh dunia,
tradisi ramuan rempah cengkih dan tembakau hanya dapat di temukan di Indonesia.
Dengan kata lain, kretek sebagai salah satu identitas khas Indonesia .
Kretek inilah yang kini telah
diserbu secara serampangan oleh apa yang kemudian dikenal sebagai kampanye anti
tembakau. Kampanye yang sebagian atau seluruhnya dipelopori oleh raksasa
pemodal dunia itu, mencoba membangun imaji yang buruk tentang kretek, dan
menyebutkankannya sebagai salah satu
sumber penyakit dan karena itu berbahaya dikonsumsi. Sayangnya para penggagas dan
penggiat kampanye anti-tembakau itu lupa, kretek dalam sejarahnya justru telah
berperan sebagai obat mujarab.
Fakta ini dialami oleh penduduk
kota Kudus bernama Haji Djamhari, yang kemudian menjadi cerita asal-muasal
kretek. Suatu hari Pak Haji menderita penyakit dada. Ketika dia mengusapkan
minyak cengkih di bagian dada dan punggungnya, dia merasa kondisi tubuhnya
menjadi lebih baik. Diapun mencoba mengunyah cengkih, dan merasa kondisi
tubuhnya jauh lebih baik dari sebelumnya. Karena kejadian itu Haji Djamhari lau
mencampurkan cengkih yang direjang halus ke dalam lintingan tembakaunya.
Setelah merokok ramuan tersebut, Haji Djamhari
mengalami kesembuhan dari penyakit dadanya. Sejak saat itu ramuan
tembakau dan cengkih menjadi primadona, dikenal sebagai kretek.
Tentu kejadian yang dialami Haji
Djamhari bisa dianggap fiktif dan meragukan. Akan tetapi sebuah fakta bahwa
kretek juga menjadi bagian dari tradisi kesehatandan pengobatan modern. Antara
lain seperti penelitian tentang kretek yang dilakukan oleh Gretha Zahar. Dia
adalah praktisi klinis, doctor fisika nuklir dari Institut Teknologi Bandung,
yang mendalami metode pengobatan tradisional balur bersama Sutiman Bambang
Sumitro, profesor bidang biologi
molekuler dari Universitas Brawijaya Malang. Hasil penelitian kedua ilmuan ini
sungguh mengejutkan: kretek lewat metode divine
ternyata mampu mengatasi kanker dan berbagai penyakit lainnya.
Temuan mereka tentu saja
melululantahkan hamper semua anggapan tentang bahaya kretek dan manfaat
tembakau bagi pengobatan, seperti penyakit kanker, autisme, dan lain
sebagainya. Temuan itu dan juga kejadian yang dialami oleh Haji Djamhari,
niscaya bertolak belakang dengan apa yang dikampanyekan oleh kelompok
anti-tembakau, yang selalu menyatakan rokok atau khususnya rokok kretek
berbahaya bagi kesehatan.
Menurut Gretha dan Sutiman, yang
membuat rokok menjadi berbahaya adalah kandungan merkuri, senyawa logam berat
yang mengontaminasi tembakau dan bahan-bahan lain yang membentuk produk rokok.
Tingkat kandungan merkuri di lingkungan hidup manusia akan naik, seiring
peningkatan kegiatan industri dan pertambangan yang menggunakan merkuri dan
zat-zat kimia berat lainnya sebagai bahan baku dalam proses produksi, yang juga
menghasilkan limbah yang mengontaminasi lingkungan hidup. Proses kontaminasi
terhadap tembakau ini sudah terjdi sejak tembakau ditanam, lewat kandungan air
tanah yang terkontaminas, dan penggunaan pupuk buatan. Merkuri yang terkandung
di dalam tembakau, rajangan cengki,
kertas rokok, bahkan filter rokok inilah yang menjadikan asap rokok
memiliki risiko terhadap kesehatan.
Bukan saja merkuri yang
mengontaminasi rokok, melainkan merkuri yang sudah masuk ke dalam tubuh
sebelumnya akibat konsumsi makanan atau papran polusi lainnya, juga ikut
berperan meningkatkan bahaya asap rokok yang masuk ke dalam tubuh. Sifat
sensitizer merkuri kemudian mempengaruhi fungsi-fungsi tubuh dalam mengelola
zat-zat radikal bebas yang masuk ke dalam tubuh. Bukan saja radikal bebas yang
dihasilkan oleh asap rokok, tapi juga dari konsumsi makanan ataupun paparan
lingkungan. Lalu, zat-zat radikal bebas tersebut mendorong terbentuknya
penyakit-penyakit degenerate, seperti kanker.
Hasil penelitian Gretha dan
Sutiman itu tentu sejalan dengan fakta, bahwa sudah beradad-abad lamanya,
tembakau dikonsumsi dengan cara dibakar dan dihirup asapnya, dan tidak
ditemukan bukti-bukti empiris yang menjadikan semua itu sebagai penyebab utama
penyakit dan kematian manusia. Misalnya dari tingkat populasi, apakan ada
penurunan jumlah manusia karena sebagian mati oleh sebab menghirup asap rokok?
Faktanya, satu-satunya penyebab penurunan jumlah manusia adalah perang. Akan
tetapi fakta ini pun bisa menimbulkan perdebatan karena ketika Perang Dunia II
selesai, pertumbuhan popolasi penduduk dunia mengalami peningkatan luar biasa
(baby boomer), justru rokok menjadi kecenderungan konsumsi manusia.
Indonesia dalam lintasan
sejarahnya telah kenyang denagn pengalaman sebagai bangsa yang terjajah.
Sementara itu, sejarahpun membuktikan arus kolonialisme pada era leluhur kita sebelumnya
seiring sejalan berlanjut dalam arus pragmatism globalisasi (neo-kolonialisme)
yang saat ini terus menggerus fundamental kedaulatan suatu bangsa. Di tengah
perang anti-tembakau, dapat dilihat posisi Indonesia dalam industri tembakau
dunia. Indonesia masuk ke dalam 10 besar produsen tembakau, dengan produksi
mencapai 120 ribu per tahun, yang artinya tembakau telah menjadi aset sumber
daya alam yang memiliki nilai kompetitif di pasar global. Indonesia sebagai
negara produsen cengkih menduduki peringkat pertama dengan produksi mencapai 50
ribu ton per tahun, menguasai 60 persen suplai cengkih dunia. Sementara itu,
angka potensi konsumen kretek pun mencapai 65 juta atau 20 persen dari total
populasinya.
Pada tahun 2011 saja sumbangannya
bagi pendapatan negara dari cukai rokok mencapai Rp 62,759 triliun,
menyumbangkan lebih dari 6 persen bagi APBN 2011 yang dipatok Rp 1.169,9
triliun. Nilai yang tidak bisa dianggap rendah tentunya, apalagi di banding
penerimaan negara dari industri pertambangan yang hanya memberikan kontribusi
senilai Rp 13,77 triliun. Industri pertambangan yang selama ini dianggap
sebagai industri strategis pun tidak bisa memberikan nilai pendapatan negara
seperti yang diberikan industri kretek, bahkan untuk sepertiga yang disumbangkan
industri kretek.
Kretek, khususnya tembakau dan
cengkih tidak bisa serta merta di salahkan tanpa penelitian dalam arti luas dan
fakta-fakta yang objektif. Alangkah
bijaknya, jika pemeritah memberikan
kesempatan dan peluang para petani tembakau, industri kecil atau besar kretek di
Indonesia, serta menekan peluang para pemodal, kapitalis, investor asing, agar
tidak terlalu mencengkram dan menjadi penguasa pangsa pasar dan ekonomi di
negara ini kedepan. Upaya lain, terutama untuk pengolahan tembakau (kretek dan
rokok) di olah secara benar dan terarah tanpa adanya unsur zat-zat dan bahan
kimia seperti saat ini. Penjelasan sederhananya adalah, apabila persoalan yang
paling mendasar tidak ditangani, maka apa pun solusinya hanya akan
memperpanjang daftar kerusakan yang terjadi akibat sebuah pemahaman yang
(terlanjut) keliru. Dan serangan kepada system kekebalan tubuh, tah hanya berasal dari asap rokok melainkan juga berasal
dari produk-produk konsumsi “modern” lain yang telah terkontaminasi. Penjelasan
ini menjawab pertanyaaan: mengapa di daerah-daerah pedesaan yang jauh dari
aktivitas industri, seorang perokok bisa hidup umur ratusan tahun, bahkan
dengan kondisi dan vitalitas yang prima.
Pengolahan produk-produk dari
tembakau yang benar sangat diperlukan sebagai pembuktian fungsi kretek
khususnya sebagai pengobatan herbal. Menciptakan peluang besar bagi
industri-industri dalam negeri sebagai fondasi dan pemain utama di negara
sendiri, serta ke depan berpeluang Indonesia sebagai pemain penting dunia dari
sektor perekonomian lewat kemandirian ekonomi yang berbasis kerakyatan.
Yang paling mendasar, tembakau,
cengkih, rempah-rempah, buah-buahan, dan tumbuhan lain saling melengkapi dalam
pembuatan kretek senyatanya adalah persembahan alam yang menjadi hak siapapun
untuk memanfaatkannya. Sebuah pertanyaan mendasar yang harus dijawab oleh semua
orang, apakah bumi, tanah air tercinta, menumbuhkan segala sesuatu di atasnya
untuk membawa kerusakan bagi manusia? Kearifan dan daya pikir manusialah yang
menentukan. Bukan hanya sekedar mengandalkan pada akal yang seringkali membawa
kea rah jebakan pragmantisme. Suatu sikap yang akan menggerus nilai-nilai
hubungan antar manusia ataupun manusia dengan alamnya. Komitmen sebagai satu
bangsa dan negara tetap harus menjadi landasan pijak utama kita bersama. Pada
titik ini Bung Karno jauh-jauh hari telah mengguratkan utopia kemandirian
bangsa dalam gagasan “Indonesia Berdikari”.