Sabtu, 16 Juli 2016

Pro Tembakau Indonesia

Rokok berbahaya, dan karena itu rokok (tembakau) harus diperangi. Itulah pesan kampanye yang terus-menerus dilakukan para penggiat anti-tembakau di seluruh dunia termasuk Indonesia. Mereka mencoba membangun konsep “baik” dan “buruk” secara sosial, melalui berbagai argumen ,mulai dari yang seolah rasional hingga kampanye hitam yang mirip dengan propaganda Nazi di zaman Hitler. Para perokok lalu ditempatkan sedemikian rupa sebagai subyek yang nyaris tanpa nilai baik. Minimal mereka dikesankan tengah berhadap-hadapan dengan kaum perempuan dan keluarga sebagai entitas subyek-korban yang merupakan anti-tesis terbesar dari potensi bahaya merokok.
Benarkah kampanye anti-tembakau itu semata-mata ditujukan untuk kesehatan individu dan masyarakat? Ataukah tidakkah sebetulnya, ada kepentingan lain di balik semua kampanye anti-tembakau yang (harus diakui) ternyata diongkosi milyaran dolar oleh Bloomberg Initiative itu? Tentu semua pertanyaan itu akan tampak seperti kampanye tandingan melawan kampanye anti-tembakau. Para penggiat kampanye anti-tembakau pun, bisa pula menganggap dan mengatakan kampanye tandingan terhadap mereka juga diongkosi lembaga tertentu. Namun persoalan disini adalah modus dari kampanye anti-tembakau yang sejauh ini terlanjur dibungkus sebagai gerakan yang seolah-olah tanpa ambisi politik, bebas kepentingan dan semata demi kesehatan masyarakat.Dan inilah yang dipersoalkan oleh Wanda Hamilton.
Dalam buku Nicotine War, Hamilton mengingatkan adanya sejumlah fakta menarik dibalik seluruh agenda perang global terhadap tembakau. Salah satunya adalah kepentingan industry farmasi yang berusaha hendak menikmati “kue” pasar nikotin dunia yang sejauh ini hanya dinikmati industri rokok. Nikotin adalah zat yang terkandung dalam daun tembakau yang selalu dipresepsikan sebagai zat yang berbahaya, padahal sama dengan senyawa lain, nikotin (dalam takaran tertentu) bisa berfungsi sebagai obat. Dan itulah yang dipersoalkan oleh Hamilton. Hamilton juga mengungkapkan, ada hubungan kepentingan industry rokok dan industri farmasi di balik balik kampanye anti-tembakau. Itu misalnya yang dilakukan oleh perusahaan tembakau terbesar ketiga di dunia Japan Tobacco dengan produsen produk kesehatan Johnson & Jhonson. Kedua perusahaan telah terbukti menekan kesepakatan bisnis berupa (lisensi) hak atau senyawa baru dari nikotin untuk menangani nyeri dan radang. Hamilton mengistilahkan agenda tersembunyi seperti ni sebagai “perang dagang” antara kepentingan industry rokok dan industry farmasi dalam memperebutkan potensi keuntungan besar dari bisnis nikotin terbesar di dunia.
Dari paparanHamilton itu, maka bisa diduga gerakan filantropis (di balik kampanye anti-tembakau) dan karakter ekspansi kapitalisme global, sebetulnya tidak berdiri sendiri-sendiri melainkan sedang bergerak ke muara yang sama: kepentingan pemodal dunia. Dugaan ini menemukan pembenaran, karena ratifikasi konvensi pembatasan terhadap pengendalian tembakau atau FCTC yang diprakarsai Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) terbukti juga dibiayai oleh Perusahaan Farmasi Multinasional.
Tokoh utama dibalik gerakan ini adalah Michael Ruben Bloomberg. Dia adalah wali kota New York dan pemilik jaringan bisnis Bloomberg, yang telah berperan secara individu dan melalui lembaganya, sebagai donator dan supervise kampanye anti-tembakau di seluruh dunia termasuk Indonesia. Dari jejak rekamannya, banyak irisan-irisan kepentingan yang berhubungan secara rumit dan terkesan paradox antara kepentingan pemodal terbesar di dunia dengan kampanye anti-tembakau disokong oleh Bloomberg. Hal ini terutama disebabkan oleh atmosfer tradisi dan budaya ekonomi kapitalis ala Amerika yang secara piawai bisa meleburkan perilaku kompetitif atau konflik kepentingan di antara para pelaku usaha yang berbeda.
Akan tetapi, pada akhirnya terlihat banyak kepentingan di antara industri-industri berbeda yang terasosiasi ke dalam suatu sindikasi atau bisnis tembakau dunia yang sekali lagi., berujung pada akumulasi keuntungan modal sebesar-besarnya. Dan Bloomberg tampaknya sadar betul, untuk tidak mengatakan telah “bersedia” menjadi lokomotif “nilai-nilai” yang menarik gerbong kekusaan modal Amerika. Tembakau sebagai bisnis besar kemudian dijadikan sebagai sebagai salah sayu objek permainan “nilai-nilai” itu dalam sebuah rel panjang perang anti-tembakau.
Hal yang tak kalah penting  untung dicermati adalah sejarah konsolidasi industri kesehatan sebagai bagian dari system industri masyarakat kapitalisme dunia –khusnya bidang kesehatan- yang muncul, tumbuh, dan berkembang membesar di Amerika, sesuai Perang Dunia II. Dari titik ini, akan bisa ditelusuri pul sejarah kemunculan seperti WHO, yang sebagaimana sejarah kemunculan lembaga supra-nasional unholy trinity (IMF, Bank Dunia, dan WTO) tidak bisa dilepaskan dari proyek konsolidasi  dan ekspansi kepentingan negara-negara dunia pertama. Dalam istilah Ivan Illich, sejarah terbentuknya WHO itu di sebut sebagai “medikalisasi kehidupan.” Gejalanya tampak dengan kemunculan “imperialisme diagnostik” industri kesehatan terhadap masyarakat modern. Illich menyebutkan, gejala itu tidak bisa dilepaskan dari kelebihan produksi secara umum dari masyarakat industri capitalism, meskipun ada kekhususan karakteristik yang membedakan sektor industri kesehatan dengan sektor lainnya.
Dengan kalimat lain, Illich sebetulnya bermaksud memperlihatkan dampak fatal dari ilusi kemajuan ilmu kedokteran. Atas nama spesialisasi kerja dan profesionalisme, ilmu kesehatan modern konon berbeda dengan pengobatan tradisional dengan alas an keabsahannya pada metodologi ilmiah ilmu pengetahuan. Namun dalam perkembangan dan sejarahnya, industri kesehatan ternyata telah bertransformasi menjadi sebuah “rezim kesehatan” yangnmenguasai kehidupan masyarakat dunia. Metode ini sangat terkait dengan kuasa filosofis dan metode positivistic dalam kemajuan ilmu pengetetahuan dan teknologi modern secara umum.Tubuh manusia lalu ditempatkan layaknya sebuah mesin (allopathic medicine), sebuah cara berpikir keliru yang telah dikritik oleh Herbert Marcuse sebagai gejala munculnya “one dimensional man” dalam kehidupan masyarakat modern kapitalistis.
Sayangnya, para penggiat anti-tembakau termasuk di Indonesia (seolah) tidak mau tau dengan soal ini. Kelompok ini cenderung mendudukkan persoalan tembakau dalam kacamata partikularistis, semata-mata sebagai problem atau isu kesehatan yang bersifat absolute, dan menutup ruang perdebatan dan eksplorasi isu tembakau . Mereka juga menolak untuk menganalisis problem atas isu tembakau sebagai bagian dari gejala perang dagang global, yang sbetulnya telah berdampak pada pemiskinan dan ketergantungan negara-negara berkembang seperti Indonesia kepada negara-negara kaya modal.
Kretek adalah rokok khas Indonesia. Terbuat dari tembakau yang dicampurkan dengan cengkih, ia telah bekembang menjadi komoditas industri  yang menggerakkan sendi-sendi sosial, budaya, dan ekonomi rakyat Indonesia sejak lebih dari seabad yang silam. Keberadaanya pun tidak serta-merta, melainkan terhubung dengan tembakau, yang berabad-abad sebelumnya menjadi bagian dari kehidupan mayoritas bangsa ini, dan melahirkan nilai-nilai tradisi yang mengakar kuat. Tembakau, oleh karena itu tidak bisa dilepaskan dari sejarah dan kebudayaan Indonesia. Sebagai olahan tembakau, kretek faktanya telah dikenal diseluruh dunia sebagai produk khas Indonesia. Ada pun cengkih sebagai salah satu bahan ramuan kretek merupakan tanaman endemis Nusantara, khususnya di wilayah Maluku yang sejak dulu dikenal sebagai surganya rempah-rempah. Dari berbagai tradisi tembakau di seluruh dunia, tradisi ramuan rempah cengkih dan tembakau hanya dapat di temukan di Indonesia. Dengan kata lain, kretek sebagai salah satu identitas khas Indonesia .
Kretek inilah yang kini telah diserbu secara serampangan oleh apa yang kemudian dikenal sebagai kampanye anti tembakau. Kampanye yang sebagian atau seluruhnya dipelopori oleh raksasa pemodal dunia itu, mencoba membangun imaji yang buruk tentang kretek, dan menyebutkankannya sebagai  salah satu sumber penyakit dan karena itu berbahaya dikonsumsi. Sayangnya para penggagas dan penggiat kampanye anti-tembakau itu lupa, kretek dalam sejarahnya justru telah berperan sebagai obat mujarab.
Fakta ini dialami oleh penduduk kota Kudus bernama Haji Djamhari, yang kemudian menjadi cerita asal-muasal kretek. Suatu hari Pak Haji menderita penyakit dada. Ketika dia mengusapkan minyak cengkih di bagian dada dan punggungnya, dia merasa kondisi tubuhnya menjadi lebih baik. Diapun mencoba mengunyah cengkih, dan merasa kondisi tubuhnya jauh lebih baik dari sebelumnya. Karena kejadian itu Haji Djamhari lau mencampurkan cengkih yang direjang halus ke dalam lintingan tembakaunya. Setelah merokok ramuan tersebut, Haji Djamhari  mengalami kesembuhan dari penyakit dadanya. Sejak saat itu ramuan tembakau dan cengkih menjadi primadona, dikenal sebagai kretek.
Tentu kejadian yang dialami Haji Djamhari bisa dianggap fiktif dan meragukan. Akan tetapi sebuah fakta bahwa kretek juga menjadi bagian dari tradisi kesehatandan pengobatan modern. Antara lain seperti penelitian tentang kretek yang dilakukan oleh Gretha Zahar. Dia adalah praktisi klinis, doctor fisika nuklir dari Institut Teknologi Bandung, yang mendalami metode pengobatan tradisional balur bersama Sutiman Bambang Sumitro, profesor  bidang biologi molekuler dari Universitas Brawijaya Malang. Hasil penelitian kedua ilmuan ini sungguh mengejutkan: kretek lewat metode divine ternyata mampu mengatasi kanker dan berbagai penyakit lainnya.
Temuan mereka tentu saja melululantahkan hamper semua anggapan tentang bahaya kretek dan manfaat tembakau bagi pengobatan, seperti penyakit kanker, autisme, dan lain sebagainya. Temuan itu dan juga kejadian yang dialami oleh Haji Djamhari, niscaya bertolak belakang dengan apa yang dikampanyekan oleh kelompok anti-tembakau, yang selalu menyatakan rokok atau khususnya rokok kretek berbahaya bagi kesehatan.
Menurut Gretha dan Sutiman, yang membuat rokok menjadi berbahaya adalah kandungan merkuri, senyawa logam berat yang mengontaminasi tembakau dan bahan-bahan lain yang membentuk produk rokok. Tingkat kandungan merkuri di lingkungan hidup manusia akan naik, seiring peningkatan kegiatan industri dan pertambangan yang menggunakan merkuri dan zat-zat kimia berat lainnya sebagai bahan baku dalam proses produksi, yang juga menghasilkan limbah yang mengontaminasi lingkungan hidup. Proses kontaminasi terhadap tembakau ini sudah terjdi sejak tembakau ditanam, lewat kandungan air tanah yang terkontaminas, dan penggunaan pupuk buatan. Merkuri yang terkandung di dalam tembakau, rajangan cengki,  kertas rokok, bahkan filter rokok inilah yang menjadikan asap rokok memiliki risiko terhadap kesehatan.
Bukan saja merkuri yang mengontaminasi rokok, melainkan merkuri yang sudah masuk ke dalam tubuh sebelumnya akibat konsumsi makanan atau papran polusi lainnya, juga ikut berperan meningkatkan bahaya asap rokok yang masuk ke dalam tubuh. Sifat sensitizer merkuri kemudian mempengaruhi fungsi-fungsi tubuh dalam mengelola zat-zat radikal bebas yang masuk ke dalam tubuh. Bukan saja radikal bebas yang dihasilkan oleh asap rokok, tapi juga dari konsumsi makanan ataupun paparan lingkungan. Lalu, zat-zat radikal bebas tersebut mendorong terbentuknya penyakit-penyakit degenerate, seperti kanker.
Hasil penelitian Gretha dan Sutiman itu tentu sejalan dengan fakta, bahwa sudah beradad-abad lamanya, tembakau dikonsumsi dengan cara dibakar dan dihirup asapnya, dan tidak ditemukan bukti-bukti empiris yang menjadikan semua itu sebagai penyebab utama penyakit dan kematian manusia. Misalnya dari tingkat populasi, apakan ada penurunan jumlah manusia karena sebagian mati oleh sebab menghirup asap rokok? Faktanya, satu-satunya penyebab penurunan jumlah manusia adalah perang. Akan tetapi fakta ini pun bisa menimbulkan perdebatan karena ketika Perang Dunia II selesai, pertumbuhan popolasi penduduk dunia mengalami peningkatan luar biasa (baby boomer), justru rokok menjadi kecenderungan konsumsi manusia.
Indonesia dalam lintasan sejarahnya telah kenyang denagn pengalaman sebagai bangsa yang terjajah. Sementara itu, sejarahpun membuktikan arus kolonialisme pada era leluhur kita sebelumnya seiring sejalan berlanjut dalam arus pragmatism globalisasi (neo-kolonialisme) yang saat ini terus menggerus fundamental kedaulatan suatu bangsa. Di tengah perang anti-tembakau, dapat dilihat posisi Indonesia dalam industri tembakau dunia. Indonesia masuk ke dalam 10 besar produsen tembakau, dengan produksi mencapai 120 ribu per tahun, yang artinya tembakau telah menjadi aset sumber daya alam yang memiliki nilai kompetitif di pasar global. Indonesia sebagai negara produsen cengkih menduduki peringkat pertama dengan produksi mencapai 50 ribu ton per tahun, menguasai 60 persen suplai cengkih dunia. Sementara itu, angka potensi konsumen kretek pun mencapai 65 juta atau 20 persen dari total populasinya.
Pada tahun 2011 saja sumbangannya bagi pendapatan negara dari cukai rokok mencapai Rp 62,759 triliun, menyumbangkan lebih dari 6 persen bagi APBN 2011 yang dipatok Rp 1.169,9 triliun. Nilai yang tidak bisa dianggap rendah tentunya, apalagi di banding penerimaan negara dari industri pertambangan yang hanya memberikan kontribusi senilai Rp 13,77 triliun. Industri pertambangan yang selama ini dianggap sebagai industri strategis pun tidak bisa memberikan nilai pendapatan negara seperti yang diberikan industri kretek, bahkan untuk sepertiga yang disumbangkan industri kretek.
Kretek, khususnya tembakau dan cengkih tidak bisa serta merta di salahkan tanpa penelitian dalam arti luas dan fakta-fakta yang objektif.  Alangkah bijaknya, jika  pemeritah memberikan kesempatan dan peluang para petani tembakau, industri kecil atau besar kretek di Indonesia, serta menekan peluang para pemodal, kapitalis, investor asing, agar tidak terlalu mencengkram dan menjadi penguasa pangsa pasar dan ekonomi di negara ini kedepan. Upaya lain, terutama untuk pengolahan tembakau (kretek dan rokok) di olah secara benar dan terarah tanpa adanya unsur zat-zat dan bahan kimia seperti saat ini. Penjelasan sederhananya adalah, apabila persoalan yang paling mendasar tidak ditangani, maka apa pun solusinya hanya akan memperpanjang daftar kerusakan yang terjadi akibat sebuah pemahaman yang (terlanjut) keliru. Dan serangan kepada system kekebalan tubuh, tah hanya  berasal dari asap rokok melainkan juga berasal dari produk-produk konsumsi “modern” lain yang telah terkontaminasi. Penjelasan ini menjawab pertanyaaan: mengapa di daerah-daerah pedesaan yang jauh dari aktivitas industri, seorang perokok bisa hidup umur ratusan tahun, bahkan dengan kondisi dan vitalitas yang prima.
Pengolahan produk-produk dari tembakau yang benar sangat diperlukan sebagai pembuktian fungsi kretek khususnya sebagai pengobatan herbal. Menciptakan peluang besar bagi industri-industri dalam negeri sebagai fondasi dan pemain utama di negara sendiri, serta ke depan berpeluang Indonesia sebagai pemain penting dunia dari sektor perekonomian lewat kemandirian ekonomi yang berbasis kerakyatan.

Yang paling mendasar, tembakau, cengkih, rempah-rempah, buah-buahan, dan tumbuhan lain saling melengkapi dalam pembuatan kretek senyatanya adalah persembahan alam yang menjadi hak siapapun untuk memanfaatkannya. Sebuah pertanyaan mendasar yang harus dijawab oleh semua orang, apakah bumi, tanah air tercinta, menumbuhkan segala sesuatu di atasnya untuk membawa kerusakan bagi manusia? Kearifan dan daya pikir manusialah yang menentukan. Bukan hanya sekedar mengandalkan pada akal yang seringkali membawa kea rah jebakan pragmantisme. Suatu sikap yang akan menggerus nilai-nilai hubungan antar manusia ataupun manusia dengan alamnya. Komitmen sebagai satu bangsa dan negara tetap harus menjadi landasan pijak utama kita bersama. Pada titik ini Bung Karno jauh-jauh hari telah mengguratkan utopia kemandirian bangsa dalam gagasan “Indonesia Berdikari”.

Selasa, 21 Juni 2016

Sistem Birokrasi Masa Orde Baru

Pemerintahan Orde Baru muncul dengan ditopang oleh tiga pilar kekuatan utamanya, yaitu militer, Golkar dan birokrasi pemerintah. Ketiga pilar kekuatan politik tersebut merumuskan berbagai kebijakan politik ekonomi yang memiliki dimensi luas bagi kehidupan masyarakat. Birokrasi menempati posisi yang strategis dalam memainkan peran politiknya sebagai regulator, perumus kebijakan, pelaksana kebijakan sekaligus juga berperan melakukan evaluasi kebijakan.
Peran yang sangat dominan pada masa Orde Baru menciptakan strategi politik korporatisme Negara yang bertujuan untuk mendukung penetrasinya ke dalam masyarakat, sekaligus mengontrol publik secara penuh. Strategi politik birokrasi tersebut merupakan strategi dalam mengatur sistem perwakilan kepentingan melalui jaringan fungsional non-ideologis.
Strategi politik tersebut membawa implikasi pada hilangnya kemajemukan atau pluratis sosial, politik, maupun budaya yang terdapat dalam masyarakat Indonesia. Kehidupan sosial dan politik yang serba tunggal untuk memudahkan mobilisasi oleh birokrasi pemerintah, seperti pembentukan Korpri, HKTI, KUD; PKK, Kadin, KNPI dan sebagainya.
Pada masa Orde Baru, birokrasi menjelma menjadi sebuah kekuatan politik yang dominan dalam merumuskan berbagai kebijakan pembangunan. Pola birokrasi seperti itu kemudian melahirkan hubungan patrimonial yang sangat kuat dalam struktur birokrasi Indonesia.
Munculnya birokrasi patrimonial di Indonesia, merupakan kelanjutan dan warisan dari system nilai tradisional yang tumbuh di masa kerajaan-kerajaan masa lampau dan bercampur dengan birokrasi gaya kolonial. Jadi, selain tumbuh birokrasi modem tetapi warisan birokrasi tradisional juga mewarnai dalam perkembangan birokrasi di Indonesia. Sama seperti halnya abdi dalem dan priyayi yang juga berlapis-lapis, pegawai negeri pun terdiri dari berbagai pangkat, golongan dan eselon. Semboyan pegawai negeri adalah abdi negara, mengandung makna berorientasi ke atas, sehingga mirip dengan birokrasi kerajaan, ambtenaar. Birokrasi, yang terjadi, lebih menekankan pada ke atas dari pada sebagai ke bawah, memberikan pelayanan kepada masyarakat.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa birokrasi di Indonesia, masih mewarisi model birokrasi patrimonial. Model birokrasi seperti ini di mana perilaku dan mentalitas sebagai penguasa yang harus dilayani, lebih mengedepan daripada sebagai aparat yang harus melayani publik. Pola hubungan yang terjadi juga lebih bersifat personal, di mana faktor kedekatan dan loyalitas pribadi menjadi prioritas daripada aturan-aturan legal-formal. Dalam konteks ini, lalu yang muncul adalah pola hubungan yang bersifat persona! yang berdasarkan kekeluargaan, pertemanan, dan like and dislike dalam hal promosi jabatan.
Melihat kondisi seperti ini, tampaknya, model birokrasi ala Weberian, yang menekankan profesionalisme, impersonal, dan legal-formal, masih belum tumbuh dalam tubuh birokrasi di Indonesia pada era otonomi ini. Model birokrasi patrimonilaisme tampaknya masih tetap eksis dan bercokol dalam tubuh birokrasi di tingkat iokal (dan juga di tingkat nasional). Dengan beium berkembangnya birokrasi ala Weber dan masih eksisnya model birokrasi patrimonial, tentu pada gilirannya akan menghambat proses demokrasi di Indonesia, pada satu sisi, dan peningkatan pelayanan publik di sisi lain.
Konsep birokrasi modern dan rasional yang dianut banyak negara maju selama ini tak dapat dilepaskan dari gagasan Weber (1947:150). Weber memandang birokrasi sebagai sebuah organisasi yang hierarkhis, di mana PNS berkewajiban melaksanakan tugas yang berkaitan dengan urusan-urusan publik. Sebagai sebuah lembaga, birokrasi juga melaksanakan fungsi dan kewajiban pemerintahan. Idealnya, dalam suatu negara demokrasi, PNS memfokuskan tugasnya pada masalah pelayanan kepada masyarakat (Gladden, 1956:17-18).
Namun. pemikiran Weber tersebut dipandang kurang partisipatif. Menurut Osboine dan Gaebler (1995), birokrasi perlu memerhatikan kerja tim dan kontrol rekan kerja dan bukan semata didominasi atau dikontrol atasan. Menurut mereka, paradigma baru birokrasi setidaknya memiliki ciri-ciri berikut: mengarahkan, memberdayakan, dan menciptakan persaingan dalam pelayanan publik.
Model birokrasi entrepreneur tersebut memeriukan sinergi antara pemerintah dan birokrasi. Keduanya perlu memosisikan diri sebagai pengarah dan bukan sebagai pengurus semua bidang kehidupan. Oleh karena itu, ke depan perlu membangun birokrasi yang dapat mendukung secara luas terciptanya ruang partisipasi publik, pemberdayaan, dan peningkatan kreativitas masyarakat.
Masalahnya, sekarang ini adalah bagaimana membangun semangat kepeloporan dan mengurangi budaya birokrasi feodalisme yang menjangkiti hamper sleuruh lini birokrasi Indonesia. Setiap birokrat perlu membiasakan diri mencari cara-cara baru yang praktis untuk pelayanan publik, inisiatif, antisipatif dan proaktif, tangkas membaca kebutuhan publik, memandang semua orang sederajat di depan hukum, serta menghargai prinsip kesederajatan. Kentalnya budaya petunjuk, misalnya, telah membuat lambannya pelayanan publik di negeri ini.
Mengulangi argument yang telah dikemukakan di atas, setidaknya ada empat kemungkinan tindakan politik untuk mewujudkan reformasi birokrasi yang sampai saat ini dirasakan belum mengalami perubahan yang signifikan, yaitu :
1. Berdasarkan asumsi bahwa elit penguasa tidak memiliki kemampuan untuk membuat tembok isolasi yang betul-betui solid dan “kedap pengaruh”. Untuk itu perlu adanya kekuatan ekstra yang mampu memberikan dorongan yang kuat kepada birokrasi melalukan perubahan yang radikal. Aliansi para imuawan dan aktivis diyakini memiliki kemampuan untuk membantu dengan membetuk aliansi penerapan “Good Governance”. Cara yang dapat dilakukan adalah dengan mengidentifikasi sekutu potensial dalam berbagai kelompok kepentingan dan berusaha menemukan “common denominator”.
2. Didasarkan pada asumsi bahwa negara Orde Baru otonom dan memiliki keuatan politik yang sangat berpengaruh sampai saat ini. Kalau kelompok dominant tersebut tidak memandang periu menerapkan reformasi birokrasi, rnaka perubahan itu tidak akan pernah terjadi. Karena itu, tugas aliansi, baik yang menjadi bagian dari pemerintahan seperti staf ahli maupun aktivis politik, adalah mendorong secara kuat dan memasukkan gagasan pro “good governance” dalam agenda pencapaian kepentingan nasional.
3. Didasarkan bahwa kebijakan pembangunan yang dijalankan lebih banyak dipaksakan pada Indonesia oleh para donor sebagai syarat untuk memperoleh bantuan asing. Karena itu, sumber perubahan bias berasal dari lembaga-lembaga donor dan negara kaya dengan mensyaratkan adanya perubahan dan reformasi birokrasi, terutama yang menyangkut akses rakyat dalam pelayanan publik. Kalangan aktivis dan ilmuawan social dapat memobilisasi kampanye di kalangan negara-negara dan badan-badan international pemberi bantuan asing agar pemerintah Indonesia mengembangkan prinsip-prinsip good governance dalam format birokrasinya.
4. Didasarkan pada gagasan bahwa kebijakan yang diterapkan berkaitan erat dengan kepentingan individual penguasa untuk memaksimalkan pencapaian tujuan, terutama kepentingan melanggengkan kekuasaan. Kalau reformasi birokrasi dianggap mampu mendukung kepentingannya, maka ia akan menerapkannya, Karena itu, para ilmuawan dan aktivis harus mampu menunjukkan kepada elit penguasa bahwa kepentingan individual mereka untuk berkuasa sangat terkait dengan keharusan mereformasi birokrasi sesuai dengan prinsip-prinsip good governance.
Asumsi yang dibangun seperti di atas memiliki karakter antara lain :
a. sensitif dan responsif terhadap peluang-peluang dan tantangan baru yang timbul sebagai akibat dari globalisasi
b. tidak terpaku pada kegiatan-kegiatan rutin yang terkait dengan fungsi instrumental, tetapi mampu melakukan terobosan melalui pemikiran yang inovdtif dan kreatif
c. mempunyai wawasan yang futuristik dan sistematik
d. mampu mengoptimalkan sumber yang tersedia dengan menggeser sumber dari kegiatan yang berproduktivitas rendah menuju kegiatan yang berproduktivitas tinggi.
Disamping itu, peran birokrasi adalah melakukan fungsi instrumental yakni fungsi yang menjabarkan peraturan perundang-undangan dan kebijakan publik ke dalam kegiatan-kegiatan rutin untuk memproduksi jasa, pelayanan, komoditas, atau mewujudkan situasi tertentu. Peran birokrasi lain adalah melakukan fungsi katalis public interest yakni fungsi yang mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan publik dan mengintegrasikan serta mengimplementasikan kebijakan dan peraturan perundang-undangan secara benar. Dengan peranan seperti tersebut di atas. birokrasi merupakan kunci keberhasilan untuk melaksanakan agenda-agenda pembangunan di bidang sosiai, ekonomi dan politik.
Berbagai asumsi di atas didasarkan pada kajian teoritis dan empirik mengenai politik, baik yang “society centered” maupun “state centered”. Walaupun didasarkan pada kajian politik, namun tujuan tulisan ini adalah memberikan sumbangan pemikiran dan perluasan wawasan bagi para peminat di bidang birokrasi dan pelakunya sendiri mengenai bagaimana reformasi bias dijalankan dengan melibatkan berbagai actor, baik yang di dalam maupun di luar pemerintahan.

Birokrasi merupakan salah satu diantara tiga pilar kekuasaan orde baru selain Golkar dan ABRI. Untuk menjelaskan bagaimana pemerintahan orde baru yang membangun kekuasaannya selama 32 tahun terutama dalam memanfaatkan birokrasi pemerintah, menurut Eep Saefulloh Fatah (1998) terbangun melalui setidaknya empat proses. Pertama, sentralisasi. Orde baru memilih model pengelolaan kekuasaan yang sentralistis dalam birokrasi. Pada awal kelahiran Orde Baru, penguasa berdalih bahwa sentralisasi (salah satunya dalam bidang birokrasi) adalah satu-satunya pilihan yang tersedia untuk menyokong proyek stabilisasi ekonomi dan politik secara cepat.
Kedua, otonomisasi. Sejak awal kelahirannya Orde Baru berupaya meminggirkan masyarakat dari proses pengambilan kebijakan publik dan proses pemerintahan secara umum. Dimana penguasa dan rakyat disekat di dua ruangan yang terpisah. Inilah otonomisasi, yakni proses yang mengarah pada pembentukan kekuasaan otonom vis a vismasyarakatnya, yang pernah disebut oleh Karl W Jackson sebagai “bureaucratic polity” atau kepolitikan birokratik. Sejalan dengan itu Orde Baru pun mengonfirmasikan penggambaran Geovanni Gentile, seorang filusuf italia terkemuka: “Negara bukanlah kehendak semua orang yang merealisasikan dirinya, melainkan kehendak yang berhasil merealisasikan dirinya sendiri …Hasilnya adalah subordinasi kehendak individu terhadap kehendak negara”.
Ketiga, personalisasi. Kekuasaan yang memusat dan otonom kemudian dipersonalisasi di tangan Preside Soeherto. Proses ini terutama terlihat tegas semenjak akhir 1970-an segera setelah Presiden Soeharto berhasil mencapai “sukses” dalam tiga proyek sekaligus. Yakni: Reseleksi lingkungan elit politik di sekitar presiden dengan loyalitas yang terjaga yang dijalankan sejak peristiwa Malapetaka 15 Januari (Malari) 1974; pengumpulan tiga sumber kekuasaan sangat menentukan di tangan Presiden Soeharto, yaitu Presiden-Kepala Negara, Panglima Tertinggi ABRI, dan Ketua Dewan Pembina Golkar; dan pelembagaan format politik otoritarian melalui pelbagai regulasi ekonomi dan politik. Dengan sendirinya jelas, bahwa birokrasi pemerintah mulai dari tingkat yang paling tinggi, sampai terendah memiliki loyalitas yang tinggi pada kebijakan Presiden Soeharto.
Keempat, sakralisasi. Orde Baru tidak hanya menjalankan sentralisasi, otonomisasi, dan personalisasi, melainkan juga sakralisasi. Kekuasaan diposisikan sebagai sesuatu yang sakral, yang tidak bisa khilaf, yang tidak bisa bersalah, bebas dari kritik, tak bisa dituntut, digugat, dan apalagi dijungkirkan. Operasi kekuasaan seakan-akan hanya mengenal dua aturan. Pasal pertama: penguasa tak bisa salah. Pasal kedua: jika penguasa bersalah, lihat pasal pertama. Pada lembaga birokrasi Orde Baru jelas sekali merasakan keadaan ini, walaupun merupakan sakralisasi tersendiri oleh individu (Presiden Soeharto), dengan loyalitas yang terus menerus dalam birokrasi yang ada dengan di topang oleh faktor politik, ekonomi dan kekuatan ABRI, dengan sendirinya menciptakan sakralisai pada sosok Presiden Soeharto oleh kolega dan orang-orang birokrat yang menikmati kekuasaannya.
Karena itu, birokrasi di Indonesia dalam perjalanan sejarahnya pada masa Orde Baru seperti di jelaskan sebelumnya, kecendrungan tersebut tidak lepas dari konfigurasi kultural, ekonomi, dan politik, ikut membentuk profil birokrasi Indonesia. Karenanya sepanjang usia negara Indonesia dan terlebih lagi pada masa pemerintahan orde baru dominasi politik atas birokrasi pemerintah sangat besar pengaruhnya. Itulah sebabnya napas panjang kekuasaan Orde Baru tetap terjaga oleh bertahannya alienasi strategi Orde Baru di antara Presiden dan birokrasi, disemping militer, teknokrasi, dan pemodal.
Dengan kata lain, Indonesia dapat dikatakan merupakan salah satu negara yang memiliki sistem politik yang menggerakkan birokrasi sebagai salah satu aktor utama dalam segala kegiatan politik. Terlebih lagi pada masa Orde Baru, birokrasi merupakan satu-satunya lembaga yang dapat melaksanakan kegiatan politik secara mandiri, dimana hampir semua kegiatan masyarakat di kontrol dan dikendalikan oleh birokrasi. Hal tersebut menunjukkan bahwa setiap proses pembuatan kebijakan di Indonesia bersifat birokratik (Mas’oed, 2008: 332).
Salah satu program andalan dalam pembangunan di masa Orde Baru yakni Program Pembangunan Lima Tahun (PELITA) yang mulai dilaksanakan pada tanggal 1 April 1969 setelah berhasilnya usaha-usaha “stabilisasi di bidang politik dan ekonomi” yang dilancarkan sejak Oktober 1966, di kenal dengan Pelita 1 (Poesponegoro & Notosusanto, 1993: 444). Program ini secara jelas menunjukkan bahwa keberhasilan program ini sangat bergantung pada tehnokrat yang berkedudukan dalam kursi birokrasi. Dengan dimulainya program Pelita ini, para tehnokrat yang duduk di kursi birokrasi menjalankan tugasnya demi menyukseskan program tersebut. Dalam level nasional, Mentri Keuangan dan ketua BAPPENAS (Badan Perancang Pembangunan Nasional) bertindak sebagai “The Guardian of Public Treasury” (Penjaga Kekayaan Negara). Sedangkan, departemen-departemen dan badan-badan lainnya bertindak sebagai “The Spending Advocates” (Pembelanja).
Karena sangat vitalnya peran demokrasi dalam pembangunan seperti di atas, maka oleh Soeharto dengan melalui beberapa kriteria hubungan antara Presidan dan birokrasi seperi melalui sentralisasi, otonomisasi, personalisasi, dan sakralisasi berdasarkan isinya masing-masing dapat membuat birokrasi ke dalam jalur politik yang tidak lagi netral kekuasan seperti pada masa Presiden Soekarno, namun menjadi salah satu kekuatan politik untuk dapat melaksanakan program pembangunan pada masa Orde Baru.
Dalam bahasanya Karl D. Jackson, seorang ahli politik dan birokrasi, model borokrasi Orde Baru disebut juga burreucratic polity yang memiliki suasana politik menentukan segala yang terjadi dalam lingkungan domestik dan negra. Karakteristik semacam didukung oleh beberapa ciri. Pertama, lembaga politik yang dominan adalah birokrasi itu sendiri. Kedua,  parlemen, partai politik maupun kelompok kepentingan berada dalam posisi yang begitu yang begitu lemah tanpa mampu mengontrol jalannya birokrasi. Ketiga, massa di luar demokrasi secara politik adalah pasif tanpa peran yang berarti. Keberadaan birokrasi di era Orde Baru seakan disalahartikan oleh penguasa, karena birokrasi dijadikan alat tanggungan untuk mempertahankan kekuasaan.
Salah satu aspek krusial untuk menjaga kestabilan politik dalam pembangunan adalah kemampuan pemerintah untuk mengendalikan kepentingan-kepentingan yang berkembang dalam masyarakat.pemerintah Orde Baru sangat memahami pentingnya aspek stabilitas politik dalam proses  mendorong pembangunan ekonomi. Inilah yang mendasari korporatisme birokrasi pada masa Orde Baru.
Pada zaman pemerintahan Soeharto berkembang istilah jajaran birokrasi sebagai abdi negara. Abdi negara ini kemudian terhimpun dalam suatu wadah yang diberi nama KORPRI (Korps Pegawai Republik Indonesia) yang ditetapkan dalam Keputusan Presiden Indonesia No. 82 Tahun 1971 sebagai satu-satunya wadah untuk menghimpun dan membina seluruh pegawai Republik Indonesia.
Kelompok korporatis yang ada pada masa rezim Orde Baru diantaranya KNIP untuk kelompok pemuda, SPSI untuk buruh, HKTI untuk petani, HNSI untuk nelayat, KADIN untuk pengusaha, HIPMI untuk pengusaha muda, Dharma Wanita untuk istri pegawai negeri, PWI untuk wartawan, KORPRI untuk Pegawai Negeri, dan PGRI husus untuk guru.
Setrategi korporatisme tidak lain untuk mengontrol dan memobilisasi guru. Dengan organisasi tunggal PGRI, guru-guru lebih mudah dikontrol dan diarahkan untuk mendukung GOLKAR dalam pemilu. Hal ini bisa dilihat dalam hasil kongres XIII tahun 1973 dan konfrensi pusat tahun 1975. Kedua keputusan ini menjadi dasar sikap politik PGRI pada masa Orde Baru. Keputusan kongres ini diperkuat melalui konferensi pusat PGRI ke II tahun 1975, yang menyatakan bahwa pada bidang umum/organisasi, PGRI sebagai organisasi komponen Golkar.
Tentara Nasional Indonesia hampir tidak pernah membetasi dirinya hanya sebagai kekuatan militer belaka. Dalam masa revolusi fisik misalnya (1945-1950) dimana militer terlibat dalam perjuangan kemerdekaan, hampir tidak pernah pula ABRI terlepas dari masalah politik (Gazali, Gonggong, Chaniago, 1989: 28). Pada waktu pemerintahan Orde Baru (1968-1998) kita mengenal adanya dwifungsi ABRI. Konsep yang sebenarnya lahir pada masa sebelum Orde Baru tepatnya pada saat pelaksanaan Demokrasi Terpimpin Presiden Sukarno (1955-1965) nemun menjadi popular pada saat Orde Baru.  Pada waktu itu peranan ABRI sebagai organisasi difungsikan dalam dua hal sekaligus yaitu pertama menjaga keamanan dan ketertiban negara dan kedua memegang kekuasaan dan mengatur negara.
Dengan adanya dwi fungsi tersebut maka waktu pemerintahan orde baru penyelenggaraan negara banyak didominasi oleh ABRI. Dominasi yang terjadi pada masa itu dapat dilihat dari: (a) Hampir semua jabatan pemerintahan mulai dari Bupati, Walikota, Gubernur, Pejabat Eselon tertentu, Mentri, Duta Besar, sampai dengan pembantu Presiden diisi oleh anggota ABRI yang “dikaryakan, (b) Selain dilakukan pembentukan Fraksi Abri di parlemen, ABRI bersama-sama Korpri pada waktu itu juga dijadikan sebagai salah satu tulang punggung yang menyangga keberadaan Golkar sebagai “Partai Politik” yang berkuasa pada waktu itu, (c) Penggabungan Polri dan ABRI (d) ABRI dan Polri, melalui berbagai yayasan yang dibentuk diperkenankan mempunyai dan menjalankan berbagai bidang usaha dan  lain-lain. Jadi jelas dengan beberapa kriteria yang ada di atas keberadaan ABRI dalam birokrasi pemerintahan sangat dominan dan merupakan salah satu roda pemerintahan terpenting saat itu.